Sesungguhnya syaithon senantiasa berusaha menggelincirkan manusia dan menyesatkan mereka dari jalan kebenaran dengan wasilah-wasilah yang beranekaragam. Di antara pintu-pintu kejelekan yang telah dibuka oleh syaithon untuk manusia adalah :”Mencari rukhsoh-rukhsoh (pendapat-pendapat yang paling ringan) dari para fuqoha’ dan mengikuti kesalahan-kesalahan mereka”. Maka dengan cara ini syaithon menipu banyak kaum muslimin yang bodoh. Sehingga hal-hal yang haram dilanggar dan hal-hal yang wajib ditinggalkan karena bergantung kepada pendapat atau rukhsoh yang palsu. Maka jadilah orang-orang bodoh tersebut menjadikan hawa nafsu mereka sebagai hakim dalam masalah-masalah khilafiyah. Mereka memilih pendapat yang paling mudah dan yang paling enak menurut hawa nafsu mereka tanpa bersandar kepada dalil syar’i, bahkan karena taqlid kepada kesalahan seorang alim yang seandainya orang alim tersebut mengetahui kebenaran maka dia akan meninggalkan pendapatnya (yang salah tersebut) tanpa ragu-ragu.
Ketika tidak ada seorangpun yang mengingkari orang-orang bodoh tersebut maka mereka akan beralasan bahwa mereka tidaklah melakukan hal tersebut berdasarkan pendapat mereka semata, tetapi ada ulama yang memfatwakan akan bolehnya apa yang telah mereka lakukan. Dan mereka bukanlah yang dimintai pertanggungjawaban, mereka hanyalah mengekor, sedangkan pertanggungjawaban adalah pada ulama yang memfatwakannya, jika benar atau salah. Bahkan mereka mengambil rukhsoh dari para fuqoha’ pada suatu permasalahan dan meninggalkan pendapat-pendapat mereka pada permasalahan yang lain. Mereka menyesuaikan antara madzhab-madzhab dan menggabungkan pendapat-pendapat (menurut hawa nafsu mereka-pent). Mereka menyangka telah melakukan amalan yang sebaik-baiknya (padahal malah sebaliknya-pent).
Syaithon telah menyebarkan pada orang-orang bodoh tersebut perkataan “Letakkanlah dia di leher orang alim dan keluarlah darinya dalam keadaan selamat”.(Maksudnya yaitu serahkanlah tanggung jawab akibat perbuatan kalian kepada orang alim yang memfatwakan hal itu, maka kalian akan keluar dengan selamat tanpa beban –pent). Ketika timbul suatu masalah pada salah seorang di antara orang-orang bodoh tersebut, maka dia akan pergi ke sebagian ulama yang tasahul (mudah memberikan jawaban yang ringan dan enak, pent) dalam berfatwa, lalu mereka (sebagian ulama yang tasahul-pent) mencarikan untuknya rukhsoh yang telah difatwakan oleh seseorang, lalu mereka berfatwa dengan rukhsoh tersebut padahal rukhsoh itu menyelisihi dalil dan kebenaran yang telah mereka yakini.
Kebanyakan orang-orang bodoh itu terdiri dari dua golongan, yaitu (pertama) orang awam yang pergi ke ulama yang tasahul dalam berfatwa. Dan (yang kedua) mufti yang mencari keridhoan manusia yang tidak berfatwa dengan dalil.
Apakah mafsadah dan mudhorot yang ditimbulkan oleh cara seperti ini?, manakah dalil-dalil syar’i yang menunjukan kebatilan hal ini?, bagaimanakah pendapat-pendapat para ulama tentang hal ini? beserta penjelasan tentang bagaimanakah sikap yang benar dalam menghadapi masalah khilafiyah?, dan apa kewajiban seorang mufti?, dan apa kewajiban seorang yang meminta fatwa?
Apakah yang dimaksud dengan rukhsoh di sini?
Yang dimaksud dengan rukhsoh di sini adalah pendapat para ulama dalam masalah khilafiyah yang paling ringan (paling enak-pent) yang tidak bersandar kepada dalil yang shohih. Atau kesalahan seorang alim mujtahid yang kesalahannya tersebut diselisihi oleh para mujtahid yang lain. Dan inilah makna rukhsoh menurut bahasa. Adapun makna syar’i yaitu nama terhadap apa yang berubah dari perkara yang asal karena adanya halangan, atau untuk kemudahan dan keringanan seperti diqoshorkannya sholat ketika safar dan kesalahan-kesalahan padanya dan rukhsoh-rukhshoh syar’i yang lainnya.
Contoh-contoh rukhsoh para ahli fiqih
1. Pendapat akan bolehnya mencukur jenggot
2. Pendapat akan bolehnya membayar zakat fitrah dengan uang
3. Pendapat akan bolehnya meminum semua yang memabukkan kecuali yang dari anggur
4. Pendapat bahwasanya tidak ada sholat juma’at kecuali pada tujuh wilayah
5. Pendapat tentang diakhirkannya sholat asar hingga (panjang) bayangan setiap benda adalah empat kalinya
6. Pendapat akan bolehnya lari pada saat bertemu dengan musuh (ketika jihad -pent)
7. Pendapat akan bolehnya mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik
8. Pendapat akan bolehnya nikah mut’ah
9. Pendapat akan bolehnya menukar satu dirham dengan dua dirham secara kontan/tunai.
10. Pendapat akan bolehnya menjimaki istri dari duburnya.
11. Pendapat akan sahnya nikah tanpa wali dan tanpa mahar.
12. Pendapat akan tidak disyaratkannya dua saksi dalam nikah.
Mafsadah yang timbul dengan mencari-cari rukhsoh-rukhsohnya para fuqoha’
Mengikuti rukhsoh-rukhsohnya para fuqoha’ menimbulkan mafsadah yang banyak. Di antaranya hilangnya kemulian agama (Islam), dan jadilah agama ini permainan di tangan para manusia. Di antaranya juga meremehkan hal-hal yang haram dan meremehkan batasan-batasan syari’at.
Asy-Syatibi telah menyebutkan sejumlah mafsadah-mafsadah ini dan berkata : “ Seperti memisahkan diri dari (ajarran) agama dengan berpaling dari mengikuti dalil (menuju) kepada mengikuti khilaf, meremehkan agama, meninggalkan apa-apa yang telah diketahui (kebenarannya) kepada apa-apa yang tidak diketahui (kebenarannya), terhalangnya (tercapai) undang-undang politik yang syar’i dengan meninggalkan ketegasan dalam beramar ma’ruf -sehingga para hakimpun berbuat sewenang-wenang dalam keputusan-keputusan hukum mereka, maka seorang hakim berfatwa dengan rukhsoh kepada orang yang dia senangi dan berfatwa yang menyulitkan kepada yang dia tidak sukai. Maka tersebarlah kekacauan dan kedzaliman-kedzaliman-, dan seperti terhantarnya hakim ini kepada pendapat menggabung-gabungkan madzhab-madzhab dengan cara yang bisa merusak ijma’.” (Al-Muwafaqot 4/147-148)
Imam Ibnul Jauzi berkata : “Dan termasuk perangkap syaithon bagi para fuqoha’ yaitu bercampurnya (bergaulnya) mereka dengan penguasa dan para sultan dan bersikap mudahanah terhadap mereka, serta meninggalkan nahi mungkar terhadap para penguasa tersebut, padahal mereka mampu melaksanakannya. Dan terkadang mereka memberikan rukhsoh kepada para penguasa tersebut pada perkara-perkara yang (sebenarnya) tidak ada rukhsoh padanya agar mendapatkan tujuan-tujuan duniawi dari mereka. Sehingga dengan hal itu timbulah kerusakan kepada tiga kelompok :
1. Penguasa, dia berkata : “Kalau seandainya aku tidak di atas kebenaran maka tentu si faqih akan mengingkariku. Dan bagaimana aku tidak benar sedangkan dia (si faqih) makan dari hartaku”.
2. Orang awam, dia berkata : “Tidak mengapa dengan penguasa ini, demikian juga dengan harta dan perbuatan-perbuatannya karena si faqih senantiasa di sisinya”.
3. Si faqih, karena sesungguhnya dia telah merusak agamanya dengan perbuatannya tersebut. (Talbis Iblis hal 121)
Akibat-akibat dan mafsadah-mafsadah dari mencari-cari rukhsoh
Sebagian ulama membahas pendapat-pendapat yang marjuh untuk menghilangkan kegelisahan dari banyak manusia yang mereka terjerumus dalam sebagian kemungkaran-kemungkaran, misalnya mencukur jenggot. Contohnya sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Hubaibullah Asy-Syingqiti dalam kitabnya “Fathul Mun’im” (1/179) dalam pembahasannya akan bolehnya mencukur jenggot, dimana dia berkata :”Ketika telah meluas musibah mencukur jenggot di negeri-negeri timur maka aku bersungguh-sungguh mencari (kaidah) asal yang di atas (kaidah) asal tersebut aku lahirkan hukum akan bolehnya mencukur jenggot, hingga sebagian orang-orang yang mulia (yaitu mulia menurut Muhammad Hubaibullah, namun pada hakikatnya mereka tidak mulia karena mereka mencukur jangut-janggut mereka –pent) memiliki kelapangan dari melaksanakan hal yang haram dengan kesepakatan (maksudnya dia ingin agar orang-orang yang mulia yang mencukur janggut-janggut mereka tidak dikatakan telah melakukan keharoman -pent). Maka aku bawakan larangan mencukur janggut pada kaidah usuliyah bahwa bentuk أَفْعِلْ (yaitu bentuk fiil amr yang terdapat dalam hadits mengenai perintah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam untuk memanjangkan janggut -pent) menurut pendapat kebanyakan orang adalah untuk kewajiban, namun dikatakan (juga) untuk mustahab” (dia ingin memalingkan asal perintah adalah wajib menjadi mustahab, sehingga menurut dia perintah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam untuk memanjangkan janggut hanyalah mustahab –pent)
Berkata Al-Allamah As-Saffariniy (wafat 1188 H) -setelah menjelaskan haromnya mencari-cari rukhsoh dalam taqlid-: “Pada hal ini (mencari-cari rukhsoh) terdapat banyak kerusakan dan kehancuran yang banyak, dan pintu ini kalau dibuka maka akan merusak syari’at yang baik dan akan menghalalkan kebanyakan hal-hal yang harom, dan manakah pintu yang lebih rusak dari pintu yang menghalalkan zina dan minum khomr dan yang lainnya?”
Syubhat-syubhat dan bantahannya
Syubhat pertama
Mereka para pencari-cari rukhsoh berhujjah dengan كَلاَمٌ حَقٌّ أُرِيْدَ بِهِ بَاطِلٌ (suatu kalimat yang hak tetapi dimaksudkan untuk hal yang batil). Mereka berkata bahwasanya agama ini mudah dan Allah ta’ala telah berfirman :
يُرِيْدُ اللهُ بِِِِِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِِِِِكُمُ الْعُسْرَ
ِِAllah menghendaki bagi kalian kemudahan dan tidak menghendaki bagi kalian kesusahan (Al-Baqoroh : 185)
Dan Rosulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda :
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا
Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit (Dari hadits Anas t, riwayat Bukhori 1/163 dan Muslim 3/1359)
Mereka berkata :”Jika kami memilih pendapat yang paling ringan (paling enak –pent) maka tindakan kami ini adalah memudahkan dan menghilangkan kesulitan”.
Maka kita jawab mereka : Sesungguhnya penerapan syari’at dalam seluruh sisi kehidupan itulah yang disebut memudahkan dan menghilangkan kesulitan, bukan menghalalkan hal-hal yang harom dan meningalkan kewajiban-kewajiban”.
Berkata Ibnu hazm (dalam Al-Ihkam fi usulil ahkam hal 869): ”Kami sungguh telah mengetahui bahwasanya seluruh yang dilazimkan oleh Allah ta’ala adalah kemudahan, sesuai dengan firman Allah ta’ala:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِيْ الدَّيْنِ مِنْ حَرَجٍ )
Dan Dia(Allah) sekali-kali tidak menjadikan bagi kalian dalam agama suatu kesempitan (Al-Haj : 78)
Dan Imam Asy-Syatibi telah membantah oaring-orang yang berhujjah dengan model ini dengan sabda Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam:
بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ
Aku telah diutus dengan (agama yang) lurus yang penuh kelapangan (Hadits Hasan)
Seraya (Imam Asy-Syatibi) berkata : “Dan engkau mengetahui apa yang terkandung dalam perkataan (dalam hadits) ini. Karena sesungguhnya (agama yang) “lurus yang penuh kelapangan” itu, hanyalah timbul kelapangan padanya dalam keadaan terkait dengan kaidah-kaidah pokok yang telah berlaku dalam agama, bukan mencari-cari rukhsoh dan bukan pula memilih pendapat-pendapat dengan seenaknya”. Maksud beliau yaitu bahwasanya kemudahan syari’at itu terkait dengan koidah-koidah pokok yang telah diatur dan bukan mencari-cari rukhsoh yang ada dalam syari’at.
Imam Syatibi juga berkata :”Kemudian kita katakan bahwasanya mencari-cari rukhsoh adalah mengikuti hawa nafsu, padahal syari’at melarang mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu mencari-cari rukhsoh bertentangan dengan kaidah pokok yang telah disepakati (yaitu dilarangnya mengikuti hawa nafsu). Selain itu hal ini juga bertentangan dengan firman Allah ta’ala:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى الله وَ الرَّسُوْلِ
Dan jika kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rosul (An-Nisa 59)
Maka tidak boleh khilaf yang ada di antara para ulama, kita kembalikan kepada hawa nafsu (dengan memilih pendapat yang paling enak-pent), tetapi kita kembalikan kepada syari’at”. (Al-Muwafaqot 4/145)
Syubhat kedua
Mereka berkata :”Kami hanyalah mengikuti yang orang berpendapat dengan rukhsoh tersebut”. Maka dijawab :”Sesungguhnya orang alim yang kalian taqlidi tersebut telah berijtihad dan dia telah salah, maka dia mendapatkan pahala atas ijtihadnya tersebut. Adapun kalian, apa hujjah kalian mengikuti kesalahannya?, kenapa kalian tidak mengikuti ulama yang lain yang menfatwakan pendapat (yang benar) yang berbeda dengan pendapat si alim yang salah itu?”. Dan demikian juga dijawab : “Kenapa kalian bertaqlid kepada si faqih ini dalam perkara rukhsoh (yang enak menurut kalian -pent) namun kalian tidak taqlid kepada pendapatnya yang lain yang tidak ada rukhsoh (yaitu yang tidak enak pada kalian) lalu kalian mencari dari ahli fiqih selain dia yang berpendapat rukhsoh??. Ini menunjukan bahwa kalian menjadikan taqlid sebagai benteng (alasan saja untuk membela) hawa nafsu kalian.!!!”. Dan para salaf telah memperingatkan terhadap kesalahan-kesalahan para ulama dan bertaqlid kepada kesalahan-kesalahan mereka tersebut. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:
ثَلاَثٌ يَهُدُّ مِنَ الدِّيْنِ : زَلَّةُ عَالِمٍ, وَجِدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ, وَ أَئِمَّةٌ ْمُضِلُّوْنَ
“Tiga perkara yang merobohkan agama: Kesalahan seorang alim, debatnya orang munafiq dengan Al-Qur’an, dan para imam yang menyesatkan”. (Riwayat Ad-Darimi1/71 dengan sanad yang shohih, dan Ibnu Abdilbar dalam Jami’ bayanil ‘ilmi 2/110).
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
وَيْلٌ لِلأَتْبَاعِ مِنْ زَلَّةِ الْعَالِمِ، يَقُوْلُ الْعَالِمِ الشَيْءَ بِرَأْيِهِ, فَيَلْقَى مَنْ هُوَ أَعْلَمُ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْهُ, فَيُخْبِرُهُ وَيَرْجِعُ وَيَقْضِي الأَتْبَاعُ بِمَا حَكَمَ
“Celakalah orang-orang yang mengikuti kesalahan seorang alim. Si alim berpendapat dengan ro’yinya (akalnya) lalu dia bertemu dengan orang yang lebih alim darinya tentang Rosulullah shallallahu ‘alihi wa sallam, kemudian orang tersebut memberitahukannya (pendapat yang benar) maka si alim tersebut mengikuti pendapat yang benar dan meninggalkan pendapatnya yang salah dan para pengikutnya (tetap) berhukum dengan pendapat si alim yang salah tersebut”.(Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam al-madkhol dan Ibnu Abdilbar (2/122) dengan sanad yang hasan)
Hukum mencari-cari rukhsoh para fuqoha’ dan menggabungkan madzhab-madzhab (dengan hawa nafsu)
Telah sepakat para ulama akan haramnya mencari-cari rukhsoh dan menggabungkan madzhab-madzhab dan pendapat-pendapat tanpa dalil syar’i yang rojih, dan berfatwa kepada manusia dengan pendapat tersebut.
Diantara perkataan-perkataan para ulama tentang haramnya hal ini adalah :
1. Berkata Sulaiman At-Taimy (wafat tahun 143 H) :”Kalau engkau mengambil rukhsohnya setiap orang alim maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan”. Berkata Ibnu Abdilbar memberi komentar: “Hal ini adalah ijmak, dan aku tidak mengetahui ada khilaf dalam perkara ini” (Al-Jami’ 2/91,92)
2. Berkata Ma’mar bin Rosyid (wafat tahun 154 H) :”Sendainya seorang laki-laki mengambil pendapat Ahlul Madinah tentang (bolehnya) nyanyian dan (bolehnya) mendatangi wanita dari duburnya, dan mengambil pendapat Ahlul Makkah tentang (bolehnya) nikah mut’ah dan (bolehnya) sorf dan mengambil pendapat Ahlul Kufah tentang khomer, maka dia adalah hamba Allah ta’ala yang paling buruk”. (Lawami’il anwar karya As-Safarini 2/466)
3. Berkata Imam Auza’i (wafat tahun 157 H): Barangsiapa yang mengambil pendapat-pendapat ulama yang aneh (asing) maka dia telah keluar dari Islam” (Siyar A’lam An-Nubala’ 7/125 karya Ad-Dzahabi)
4. Berkata Imam Ahmad bin Hanbal (wafat tahun 241 H) :”Kalau seorang laki-laki mengamalkan pendapat Ahlul Kufah tentang anggur (yaitu yang haram hanyalah khomer yang dari anggur –pent) dan pendapat Ahlul Madinah tentang nyanyian (yaitu bolehnya nyanyian –pent) dan pendapat Ahlul Makkah tentang mut’ah (yaitu bolehnya nikah mut’ah –pent) maka dia adalah orang yang fasiq” (Lawami’il anwar al-bahiyah karya As-Safarini 2/466 dan irsyadul fuhul karya Asy-Syaukani hal 272)
5. Berkata Ibrahim bin Syaiban (wafat tahun 337 H) :Barangsiapa yang ingin rusak maka lazimilah rukhsoh” (Siyar a’alam an-nubala’ karya Adz-Dzahabi 15/392)
6. Berkata Ibnu hazm (wafat tahun 456 H) dalam bayan tabaqot al-mukhtalifin: ”Dan tingkatan yang lain dan mereka adalah kaum yang tipisnya nilai agama mereka dan kurangnya ketakwaan mereka mengantarkan mereka untuk mencari apa yang sesuai dengan hawa nafsu mereka pada pendapat setiap orang. Mereka mengambil pendapat yang rukhsoh dari seorang alim dengan bertaqlid kepadanya tanpa mencari pendapat yang sesuai dengan nash dari Allah ta’ala dan Rosulullah rshallallahu ‘alihi wa sallam (Al-ihkam hal 645). Imam Syatibi telah menukil dari Ibnu hazm bahwasanya beliau menyampaikan ijmak (para ulama) bahwasanya mencari-cari rukhsohnya madzhab-madzhab tanpa bersandar kepada dalil syar’i adalah merupakan kefasikan yang haram.(Al-muwafaqot 4/134)
7. Berkata Abu ‘Amr Ibnu Solah (wafat tahun 643 H) menjelaskan tentang sifat tasahulnya (mudah memberikan fatwa yang enak -pent) seorang mufti : “Dan terkadang sifat tasahulnya dan kemudahan yang tujuan-tujuan dunia yang rusak telah membawa si mufti tersebut untuk mencari-cari hilah yang haram atau yang makruh, dan berpegang teguh dengan syubhat-syubhat untuk mencarikan rukhsoh bagi orang yang dia ingin beri manfaat, atau bersikap keras terhadap orang yang dia kehendaki mendapat mudhorot. Maka barang siapa yang melakukan hal ini maka telah hina agamanya”. (Adabul mufti hal 111)
8. Berkata Sulathonul ulama Al-‘Izz bin Abdis Salam (wafat tahun 660 H): “Tidak boleh mencari-cari rukhsoh.” (Al-fatawa hal 122)
9. Imam An-Nawawi ditanya :”Apakah boleh seseorang yang bermadzhab dengan suatu madzhab untuk bertaqlid pada suatu madzhab yang lain pada perkara yang dengannya ada kemanfaatan dan mencari-cari rukhsoh?”, beliau menjawab :”Tidak boleh mencari-cari rukhsoh wallahu a’lam” (fatawa An-Nawawi yang dikumpulkan oleh muridnya Ibnul ‘Atthor hal 168)
10. Berkata Imam Ibnul Qoyyim (wafat 751 H) :”Tidak boleh seorang mufti mengamalkan dengan pendapat yang sesuai dengan kehendaknya tanpa melihat kepada tarjih” (I’lamul muwaqi’in 4/211)
11. Berkata Al-‘Alamah Al-Hijawi (wafat 967 H) :”Tidak boleh bagi seorang mufti maupun yang lainnya untuk mencari-cari hilah yang harom dan mencari-cari rukhsoh bagi orang yang membutuhkannya, karena mencari-cari hal itu adalah kefasikan dan diharomkan meminta fatwa dengan hal itu”. (Al-Imta’ 4/376)
12. Berkata Al-‘Alamah As-Safarini (wafat 1188 H) :”Diharamkan bagi orang awam yang bukan mujtahid untuk mencari-cari rukhsoh untuk ditaqlidi”. (Lawami’il anwar 2/466)
Kesimpulan dari uraian diatas bahwasanya empat imam yaitu Ibnu Abdilbar, Ibnu Hazm, Ibnu Solah, dan Al-Baji telah menukilkan ijma’ tentang haramnya mencari-cari rukhsoh.
Sikap yang benar terhadap perbedaan pendapat dalam suatu permasalahan dan apakah yang wajib bagi orang yang meminta fatwa ?
Jika seorang muslim mendapatkan banyak fatwa dalam suatu permasalahan, maka bagaimanakah sikapnya yang benar dengan perbedaan pendapat ini?
Tidak boleh baginya mencari-cari rukhsoh para fuqoha’ dan wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar dalam permasalahan tersebut. Lalu apakah yang harus dia lakukan?
Jawab :
Selayaknya pilihannya itu terpatok kepada timbangan yang teratur yang bisa digunakan untuk mengetahui pendapat yang rojih (benar) dari pendapat yang marjuh (yang salah). Dan timbangan ini adalah firman Allah ta’ala:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى الله وَ الرَّسُوْلِ
Dan jika kalian berselisih tentang sesuatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rosul (An-Nisa 59)
Maka pendapat mana saja yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah maka itulah yang benar dan yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah maka dia adalah batil.
1. Wajib bagi seorang muslim yang (mampu untuk) melihat (meneliti) untuk memilih pendapat yang sesuai dengan dalil yang kuat. Berkata Abu Amr Ibnu Abdilbar :”Yang wajib dalam menyikapi perselisihan para ulama adalah mencari dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah dan ijmak serta qiyas yang berdasarkan usul-usul (qoidah-qoidah pokok) yang bersumber dari semua itu. Dan demikian itu tidak bisa tidak. Dan jika sama kuat dalil-dalil (khilaf tersebut) maka wajib untuk memilih kepada yang paling menyerupai dengan apa-apa yang telah kita sebutkan dengan Kitab dan Sunnah. Apabila dalil-dalil (khilaf tersebut) tidak jelas maka wajib untuk tawaqquf (menahan diri). Apabila seseorang terpaksa unutuk mengamalkan salah satu pendapat (dari khilaf tersebut) pada kondisi yang khusus pada dirinya, maka boleh baginya untuk taqlid sebagaimana dibolehkan bagi orang-orang awam. Dan dia mengamalkan sabda Rosulullah shallallahu ‘alihi wa sallam “Kebaikan itu adalah apa yang menenangkan hati dan dosa adalah apa yang menggelisahkan hati. Maka tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu menuju kepada apa-apa yang tidak meragukanmu.”” (Jami’ bayan al-‘ilmi 2/80-81). Demikanlah perkataan Al-Khatib Al-Bagdadi di dalam kitab al-faqih wal mutafaqih 2/203.
2. Wajib bagi seorang muslim untuk meminta fatwa kepada orang yang telah terpenuhi syarat-syarat untuk berfatwa baik dalam hal ilmu maupun kewara’an. Dan janganlah dia bertanya kepada …ilmu yang mereka mengeluarkan fatwa dengan kebodohan dan kebohongan. Atau dia bertanya kepada orang-orang yang tasahul dalam berfatwa yaitu mereka-mereka yang suka memberi fatwa dengan rukhsoh dan hilah (penipuan terselubung). Mereka-mereka tersebut tidak boleh dimintai fatwa.
3. Dan wajib bagi pencari kebenaran untuk beristi’anah kepada Allah ta’ala dan tunduk kepadanya dengan berdo’a agar Allah ta’ala menunjukinya kepada kebenaran. Dan hendaklah dia berdo’a dengan do’anya Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam:
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيْلَ وَ مِيْكَائِيْلَ وَ إِسْرَافِيْلَ, فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَلأَرْضِ, عَالِمَ الْغَيْبِ وّالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمَ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ, اِهْدِنِيْ لِمَا اخِتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهِدِي مَنْ تَشَاءُ اِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
Ya Allah, Rob jibril, mikail dan isrofil, Yang menciptakan langit-langit dan bumi, Yang mengetahui ilmu goib dan yang nampak, Engkau menghakimi hamba-hamba-Mu pada apa-apa yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kepadaku kebenaran dari apa-apa yang mereka perselisihkan dengan idzin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjuki siapa saja yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus. (Riwayat Muslim 1/534 dari ‘Aisyah)
4. Jika khilafnya sangat kuat sehingga seorang muslim tidak mampu untuk mengetahui mana yang benar, maka dia (boleh) bertaqlid kepada orang yang dia tsiqohi (percayai) akan ilmu dan dan dinnya dan tidaklah dia dibebani dengan beban yang labih dari ini.
5. Berkata Al-Khotib Al-Bagdadi :”Jika seseorang berkata : “Bagaimana engkau berkata terhadap orang awam yang meminta fatwa jika ada dua orang yang memberinya fatwa dan kedua orang tersebut berselisih, apakah boleh baginya taqlid?”, maka dijawab : Untuk perkara ini ada dua sisi :
– Pertama : Jika orang awam tersebut luas akalnya (pintar) dan pemahamannya baik, maka wajib baginya untuk bertanya kepada dua orang yang berselisih tersebut tentang madzhab-madzhab mereka dan hujah-hujah mereka. Lalu dia mengambil pendapat yang paling kuat menurut dia. Namun jika akalnya kurang tentang hal ini dan pemahamannya tidak baik, maka boleh baginya taqlid kepada pendapat yang paling baik menurut dia diantara kedua orang tersebut.
– Jika dia menempuh jalan yang lebih hati-hati dan wara’, maka hendaknya dia memilih pendapat yang paling hati-hati dari kedua pendapat tersebut. Maka hendaklah dia mendahulukan (memilih) pendapat yang melarang daripada pendapat yang membolehkan dalam rangka menjaga dinnya dari syubhat, sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alihi wa sallam :
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبْهَاتِ فَقَدِاسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْدِهِ
Barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara syubhat maka dia telah membersihkan agamanya dan kehormatannya (Muttafaqun ‘alaihi)
والله أعلم
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Diterjemahkan oleh Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja dari majallah Al-Asolah
Artikel: www.firanda.com